;

Senin, 17 Januari 2011

TIPS MEMBACA BUKU-BUKU FILSAFAT SECARA POSITIF


Seorang penulis wajib membaca banyak buku. Namun setiap penulis juga harus tahu cara membaca buku-buku yang bisa memberikan manfaat posifit. Khususnya buku-buku filsafat.

Pernyataan ini agak aneh mungkin? Apakah membaca buku filsafat bisa berdampak negatif?

Jawabannya mungkin. Karena jika anda membaca buku filsafat dengan cara yang tidak tepat ada dua kemungkinan yang bakal terjadi. Pertama Anda tidak mendapatkan apa, alias Anda menjadi pusing tujuh keliling. Karena dasarnya buku-buku filsafat tidak mudah dipahami. Dan dampak akhirnya Anda menjadi malas membaca buku filsafat karena bikin mumet. Atau merasa malu, kok, sudah membaca berulang kali tidak paham-paham, jangan-jangan IQ-ku jongkok.

Namun yang lebih bahaya lagi adalah Anda begitu kagum dengan sebuah karya filsafat dan menjadikan buku tersebut sebagai kitab suci. Apalagi secara perlahan Anda menganggap bahwa isi buku tersebut adalah kebenaran absolut. Layaknya pengemar Curt Cobain yang maniak, maka Andapun bakal mendewakan-dewakan seorang filsuf layaknya seorang nabi. Seperti pandangan kawan saya “Marx adalah Tuhannya”. Wow, ekstrim sekali bukan? Dan memang buku-buku filsafat memiliki kemampuan untuk itu. Mengoda seseorang untuk menjadi dogmatis menjadi pengikut seorang filsuf secara membabibuta oleh karena rasa kagum.

Oleh sebab untuk mencegah membaca filsafat menjadi sebuah kegiatan yang membosankan. Atau membuat pikiran Anda terkuasai oleh sebuah pemikiran, maka ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam membaca buku-buku filsafat agar memberikan manfaat yang positif.

Hukum pertama, bacalah buku-buku filsafat secara kritis.
Ingat bahwa pemikiran seorang filsuf merupakan sebuah pemikiran yang lahir dalam konteks waktu. Pemikiran seorang filsuf turut dipengaruhi oleh situasi sosial yang ia hadapi serta pemikiran-pemikiran yang berkembang pada masanya. Sehingga pemikiran seorang filsuf memiliki kekurangan khususnya karena ada batasan dari situasi yang dihadapinya.
Misalnya saja mengapa para pemikir pada pertengahan abad ke-19 cenderung persimistik? Salah satunya yang cukup terkenal adalah Schopenhauer. Hal ini karena mereka hidup dalam situasi yang kaostik. Dimana Eropa di dera peperangan, kemiskinan merajalela dan penderitaan dimana-mana. Sehingga menurut Schopenhaure dunia kita merupakan dunia yang terburuk di antara dunia-dunia yang mungkin.

Oleh sebab itu dalam membaca sebuah karya filsafat ada baiknya kita mengembangkan sikap kritis. Kita harus menyadari bahwa karya filsafat yang tidak sepenuhnya bebas dari konteks sejarahnya, meskipun filsafat berusaha untuk mendapatkan nilai-nilai universal. Kemudian pemikiran seorang filsuf juga tidak lepas dari kekurangan.

Perlu saya tekankan tujuan membaca buku filsafat adalah bagaimana pemikiran mereka dapat Anda pahami dan memberikan inspirasi. Cara memahami karya-karya filsafat terkait dengan tujuan tersebut adalah melalui dialog.

Namun bagaimanakah sesungguhnya sikap berdialog dalam membaca sebuah buku filsafat? Inti berdialog adalah bagaimana kita memcoba memahami sebuah karya filsafat dengan melibatkan konteks keberadaan dan pemahaman kita. Tidak perlu khawatir bahwa penafsiran apakah penafsiran yang keliru atau tidak. Bahkan sulit juga mengevaluasi apakah pemahaman kita salah atau tidak. Karena ide yang benar dari buku itu sendiri hanya diketahui oleh sang filsuf itu sendiri. Bahkan menurut Faucault, ketika sebuah pemikiran telah dituliskan dan dipublikasikan menjadi sebuah karya, pada saat yang bersamaan penulis telah mati. Maksudnya, penulis tidak lagi bisa tahu bagaimana karyanya bakal dipahami. Dan karyanya itu sepenuhnya menjadi milik pembaca yang bisa menafsirkan pemikirannya dengan berbagai interpretasi.

Terpenting adalah bagaimana karya filsafat tersebut bisa membawa Anda pada sebuah pemikiran sendiri yang orisinil. Membaca filsafat bukan bertujuan Anda mengulangi apa yang dikatakan sang penulis dalam bukunya itu, (karena apa bedanya ini dengan menghapal puisi Chairil Anwar). Melainkan agar anda dapat membangun ide filsafat Anda sendiri untuk kemudian meraih kebijaksanaan (wisdom).

Hukum kedua, jangan pernah membaca buku filsafat sekali. Membaca buku filsafat tidak seperti membaca novel, yang menceritakan sesuatu sederhana dan lebih mudah untuk dipahami dan diingat tema-temanya. Filsafat merupakan hasil perenungan mendalam, dan tidak mungkin kita bisa menghadirkan sebuah pemahaman mendasar seorang pemikir besar(landasan dari segala pemikiran dan sikap hidupnya)hanya dengan membaca sekali karyanya.

Disamping itu jika Anda sudah terbiasa membaca buku filsafat dengan berdialog, makna yang bakal Anda peroleh melalui pembacaan buku tersebut akan bersifat dinamis. Sehingga membaca buku filsafat pertama kali dengan membaca buku tersebut untuk kedua kali atau selanjutnya akan memberikan pemahaman yang berbeda.

Kadang buku filsafat saya analogkan dengan seorang pribadi yang siap berkomunikasi dengan kita, sehingga ketika kita membacanya hari ini dan besok akan membawa kita pada sebuah pemahaman yang berbeda.

Hukum Ketiga, tuliskan apa yang ada di benak Anda saat membaca karya filsafat. Ketika Anda membaca sebuah karya filsafat tuliskan hal-hal yang muncul dalam pikiran Anda. Tidak saja berhubungan dengan apa yang anda pahami termasuk juga keraguan anda atau kritik Anda.

Metoda ini bertujuan agar Anda mengetahui sejauh mana pemikiran Anda mengalami perubahan setelah membaca sebuah karya filsafat. Dan melalui rangkuman tersebut anda juga bisa melihat perkembangan pemikiran Anda, sehingga anda sudah dapat merasakan manfaat dari membaca buku itu.

Hukum keempat, tetap jaga jarak pribadi dengan buku yang Anda baca. Anda harus ingat selalu bahwa seorang filsuf bukanlah manusia dewa melainkan hanyalah seorang jenius pada zamannya. Merekapun mengembangkan pemikirannya dengan cara-cara umum yang dilakukan kebanyakan orang, mempelajari pemikiran sebelumnya, merenungkan kehidupannya, dan menyarikan pemikiran yang sesungguhnya sebagai perekat dari totalitas kesadarannya.

Sehebat-hebatnya seorang filsuf idealnya hanya akan memberikan inspirasi bagi kita mengembangkan pemikiran kita sendiri. Dan bukan kemudian pemikiran sang filsuf kita klaim sebagai kebenaran absolut dan kita paksakan agar terwujud pada realitas (ideologi). Karena sekali lagi tidak ada pemikiran yang benar jika pada akhirnya tidak mendatangkan kebijaksanaan.

Tidak ada komentar: